Tentang Kesabaran.

Suatu hari aku duduk di beranda rumah sambil berbincang dengan Ayahku, kala itu hatiku sedang pilu karena suatu hal yang ingin kucapai diluar kuasaku. Entah darimana inspirasi itu Ia dapatkan, tiba tiba Ia bertanya padaku, “Kalau kamu bertemu pengamen bersuara merdu, apa yang kamu lakukan?”

Aku bingung mendengarnya, sambil dengan ragu menjawab, “Didengarkan? Dikasih uang?”

“Pernah kamu liat pengamen yang baru saja menyanyikan satu baris lagu, sudah diberikan uang?”, Ayahku melanjutkan pertanyaannya.

“Biasanya sih karena suaranya agak sumbang ya, atau pendengarnya terganggu jadi buru buru dikasih uang biar pergi”, aku menjawab dengan masih mencerna sebetulnya kemana arah obrolannya.

“Lalu kalau suaranya bagus dan merdu? Kamu bisa dengarkan sampai habis lagunya tanpa terusik, kan? Uang yang kamu kasih pun pasti akan lebih besar dari pengamen yang langsung kamu kasih uang sebelum bait pertama terselesaikan.”, Ayahku berusaha membuatku mengerti.

“Sama seperti berdoa… Jangan berpuas diri jika Tuhan langsung mengabulkan setiap doamu, karena bisa jadi Tuhan tidak serindu itu mendengar doamu. Sebaliknya, percaya dan yakinlah Tuhan selalu bersamamu, menanti doa yang senantiasa kamu panjatkan kepadaNya. Hingga akhirnya Ia akan memberikan apapun yang kamu mau, lebih dari mereka yang doanya dikabulkan dalam waktu singkat.”

“Jangan tinggalkan ibadahmu, sediakanlah waktu untuk berdoa kepada Tuhan-mu, menemui Tuhan-Mu, dan bersabarlah. Tuhan mengetahui apa yang terbaik dan tepat untuk hambaNya”, Tutup Ayahku sambil menepuk pundakku.

Kisah ini yang terngiang di benakku ketika aku mulai menyerah atas hal yang tidak kunjung aku dapatkan. Layaknya manusia lainnya, terkadang aku nyaris putus asa dan lupa bahwa ada Tuhanku yang lebih besar kuasa atas segalanya. Namun kisah ini yang selalu berhasil membuatku bangkit dan berdoa lagi, meminta lagi kepada Ia yang memiliki alam semesta dan seluruh isinya.

Jika hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang-Ku, maka (jawablah), “Aku dekat. Aku akan mengabulkan permohonan orang yang berdoa jika ia memohon kepada-Ku.”

(Q.S Al Baqarah: 186)

Klasik.

Kata mereka hidupnya sempurna, nyaris tak tersentuh realita.

“Tawanya tak pernah pudar, seperti bahagia yang tak ada lekang….”, kembali mereka berujar.

Ia yang menyadari kepadanya pujian itu ditujukan, mencoba tetap tersenyum dan memperlihatkan sederet giginya yang rapi tak bercela.

Mereka tak tahu apa yang sedang dihadapinya dibalik kelir bahagia yang ditampakannya.

Pernah aku bertanya padanya, “Mengapa kau selalu menampakkan senyummu? Harusnya biarkan mereka mengetahui bahwa kau tidak sesempurna itu, kau tidak sebahagia itu”

Kemudian ia menjawab, “Tak perlu lah mereka mengetahui keluh kesahku, toh mereka bisa apa? Hanya Tuhanku yang perlu tau, karena hanya Tuhanku yang bisa menguatkanku.”

Ilusi Bahagia dalam Harapan


Ada yang bilang waktu itu relatif. Katamu cepat, kataku lambat.
Begitupun rasa yang selalu melihat perspektif. Kataku merana, katamu suka cita.
Ini bukan tentang narasi imajinatif yang selalu berhasil membangun kepuasan diri.
Namun lebih kepada hasrat adiktif demi menghibur hati.

Katanya harapan dapat membuat seseorang senantiasa bertahan.
Namun apa artinya jika harapan kemudian hanya menjadi khayalan.
Semu, sendu, dan penuh ragu.
Lama lama aku belajar untuk berhenti berharap, daripada nantinya membuatku jatuh, tertinggal, dan terlindas.

Aku sedang merasa semesta berusaha mensubstitusi prinsip diriku yang tak lagi berapi-api.
Kala itu mudah saja mencari pelarian, bermain telepati agar bersemangat kembali.
Dewasa ini semua tak lagi sama, apakah lantas membuat bahagiaku ikut sirna?


Untuk semua yang sedang berjuang untuk menemukan kembali bahagianya…..